PENDIDIKAN
KARAKTER DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA
A. Pengertian Karakter
Istilah nation and
charakter building adalah istilah klasik dan menjadi kosa kata hampir
sepanjang sejarah modern Indonesia terutama sejak peristiwa Sumpah Pemuda 1928.
Istilah ini mencuat kembali sejak tahun 2010 ketika pendidikan karakter
dijadikan sebagai gerakan nasional pada puncak acara Hari Pendidikan Nasional
20 Mei 2010 yang dicanangkan oleh presiden RI[1][2].
Latar belakang munculnya pendidikan karakter ini dilatarbelakangi oleh semakin
terkikisnya karakter sebagai bangsa Indonesia, dan sekaligus sebagai upaya
pembangunan manusia Indonesia yang berakhlak budi pekerti yang mulia.
Istilah karakter secara
harfiah berasal dari bahasa Latin “Charakter”, yang antara lain berarti: watak,
tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Sedangkan
secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana
manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri[2][3]. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang[3][4].
Definisi dari “The stamp of individually or group impressed by nature,
education or habit. Karakter
merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter dapat
juga diartikan sama dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa
identik dengan akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter
adalah bangsa yang berakhlak dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak
berkarakter adalah bangsa yang tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki
standar norma dan perilaku yang baik. Dengan demikian, pendidikan karakter
adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami, membentuk, memupuk
nilai-nilai etika, baik untuk diri sendiri maupun untuk semua warga masyarakat
atau warga negara secara keseluruhan[4][5].
B. Dasar dan Landasan Pendidikan Karakter di Indonesia dan Alasan Pentingnya Nilai Karakter
Dalam Perangkat Pembelajaran
1. Dasar
Pendidikan Karakter
Dalam Islam, tidak ada disiplin ilmu yang
terpisah dari etika-etika Islam. Sebagai usaha yang identik dengan ajaran
agama, pendidikan karakter dalam Islam memiliki keunikan dan perbedaan dengan
pendidikan karakter di dunia barat.
Perbedaan-perbedaan tersebut mencakup
penekanan terhadap prinsip-prinsip agama yang abadi, aturan dan hukum dalam
memperkuat mralitas, perbedaan pemahaman tentang kebenaran, penolakan terhadap
otonomi moral sebagai tujuan pendidikan moral, dan penekanan pahala di akhirat
sebagai motivasi perilaku bermoral.
Inti dari perbedaaan-perbedaan ini adalah
keberadaan wahyu ilahi sebagai sumber dan rambu-rambu pendidikan karakter dalam
islam. Akibatnya, pendidika karakter dalam Islam lebih sering dilakukan dengan
cara doktriner dan dogmatis, tidak secara demokratis dan logis.
Implementasi
pendidikan karakter dalam Islam, tersimpul dalam karakter pribadi Rasulullah
SAW. Dalam pribadi Rasul, tersemai nilai-nilai akhlak yang mulia dan agung.
Al-qur’an dalam surat Al-ahzab ayat 21 mengatakan:
Artinya: “Sesungguhnya Telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah”.
Karakter atau Akhlak tidak diragukan lagi memiliki peran besar dalam
kehidupan manusia. Menghadapi fenomena krisis moral, tuduhan seringkali
diarahkan kepada dunia pendidikan sebagai penyebabnya. Hal ini dikarenakan
pendidikan berada pada barisan terdepan dalam menyiapkan sumber daya manusia
yang berkualitas, dan secara moral memang harus berbuat demikian[5][6]. Pembinaan
karakter dimualai dari individu, karena pada hakikatnya karakter itu memang
individual, meskipun ia dapat berlaku dalam konteks yang tidak individual.
Karenanya pembinaan karakter dimulai dari gerakan individual, yang kemudian
diproyeksikan menyebar ke individu-idividu lainnya, lalu setelah jumlah
individu yang tercerahkan secara karakter atau akhlak menjadi banyak, maka
dengan sendirinya akan mewarnai masyarakat. Pembinaan karakter selanjutnya
dilakukan dalam lingkungan keluarga dan harus dilakukan sedini mungkin sehingga
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Melalui
pembinaan karakter pada setiap individu dan keluarga akan tercipta peradaban
masyarakat yang tentram dan sejahtera.
Dalam
Islam, karakter atau akhlak mempunyai kedudukan penting dan dianggap mempunyai
fungsi yang vital dalam memandu kehidupan masyarakat. Sebagaimana firman Allah
SWT di dalam Al-qur’an surat An-nahl ayat 90.
Artinya: “Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Pendidikan
karakter dalam Islam diperuntukkan bagi manusia yang merindukan kebahagiaan
dalam arti yang hakiki, bukan kebahagiaan semu. Karakter Islam adalah karakter
yang benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat sesuai
dengan fitrahnya[6][8].
Islam
merupakan agama yang sempurna, sehingga tiap ajaran yang ada dalam Islam
memiliki dasar pemikiran, begitu pula dengan pendidikan karakter. Adapun yang
menjadi dasar pendidikan karakter atau akhlak adalah Al-qur’an dan Al-hadits,
dengan kata lain dasar-dasar yang lain senantiasa di kembalikan kepada Al-qur’an
dan Al-hadits. Di antara ayat Al-qur’an yang menjadi dasar pendidikan karakter
adalah surat Luqman ayat 17-18 sebagai berikut yang artinya[7][9]:
Artinya: “Hai
anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena
sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa ajaran Islam serta pendidikan
karakter mulia yang harus diteladani agar manusia yang hidup sesuai denga
tuntunan syari’at, yang bertujuan untuk kemaslahatan serta kebahagiaan umat
manusia. sesungguhnya Rasulullah adalah contoh serta teladan bagi umat manusia
yang mengajarkan serta menanamkan nilai-nilai karakter yang mulia kepada
umatnya. Sebaik-baik manusia adalah yang baik karakter
atau akhlaknya dan manusia yang sempurna adalah yang memiliki akhlak
al-karimah, karena ia merupakan cerminan iman yang sempurna. Dalam sebuah hadits dinyatakan, bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda:
مُرُوا
أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ َاضْرِبُوهُمْ
عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
Artinya: “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila
sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun
maka pukullah mereka apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka
dalam tempat tidurnya.” (HR. Abu Daud no. 495)
Dari hadits di atas, dapat di pahami
bahwa, Memerintahkan anak lelaki dan wanita untuk
mengerjakan shalat, yang mana perintah ini dimulai dari mereka berusia 7 tahun.
Jika mereka tidak menaatinya maka Islam belum mengizinkan untuk memukul mereka,
akan tetapi cukup dengan teguran yang bersifat menekan tapi bukan ancaman.
Jika
mereka mentaatinya
maka alhamdulillah. Akan tetapi jika sampai usia 10 tahun mereka belum juga mau
mengerjakan shalat, maka Islam memerintahkan untuk memukul anak tersebut dengan
pukulan yang mendidik dan bukan pukulan yang mencederai.
Karenanya,
sebelum pukulan tersebut dilakukan, harus didahului oleh peringatan atau
ancaman atau janji yang tentunya akan dipenuhi. Yang jelas pukulan merupakan
jalan terakhir. Di sini dapat
dipahami bahwa, menurut teori psikologi, pada rentangan usia 0-8 tahun
merupakan usia emas atau yang sering kita dengar dengan istilah golden age, yang
mana pada usia ini individu yang sedang mengalami
proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Bahkan dikatakan sebagai
lompatan perkembangan karena itulah maka usia dini dikatakan sebagai golden age
(usia emas) yaitu usia yang sangat berharga dibanding usia-usia selanjutnya, dan usia tersebut
merupakan fase kehidupan yang unik
dalam diri individu.
Pada usia golden age, di sadari atau tidak, perilaku imitatif pada
anak sangat kuat sekali. Oleh karena itu, selaku orang tua seharusnya
memberikan teladan yang baik dan terbaik bagi anaknya, karena jika orang tua
salah mendidik pada usia tersebut, maka akan berakibat fatal kelak setelah ia
dewasa, ia akan menjadi sosok yang tidak mempunyai karakter akibat dari pola
asuh yang salah tadi.
2. Landasan Pendidikan Karakter di Indonesia
Untuk
mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan
dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta mengatasi permasalahan kebangsaan
saat ini, maka Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu
program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu telah ditegaskan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, di mana
pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi
pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral,
beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.[8][10]”
Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter sebagaimana yang
diamanatkan dalam RPJPN, sesungguhnya hal tersebut sudah tertuang pada fungsi
dan tujuan pendidikan nasional, yaitu “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN)).
Dengan demikian, RPJPN dan UUSPN merupakan landasan yang kokoh untuk
melaksanakan secara operasional pendidikan karakter sebagai prioritas program
Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014, sebagaimana yang tertuang dalam
Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010). Isi dari rencana aksi
tersebut adalah bahwa “pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai,
pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk,
memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan
sehari-hari dengan sepenuh hati”.
Sementara itu, dalam INPRES No. 1 Tahun 2010 disebutkan
“penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai nilai
budaya bangsa untuk membentuk
daya saing dan karakter bangsa”. Di lain sisi, dalam latar belakang UUSPN Pasal 3 menyebutkan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa”[9][11].
Atas
dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan
mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation)
tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif)
tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik
dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain,
pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan
yang baik (moral knowing), akan tetapi juga “merasakan dengan baik atau loving
good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action).
Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus
dipraktikkan dan dilakukan. Dengan demikian, jelaslah sudah landasan dan alasan
penerapan pendidikan karakter di Indonesia.
3. Alasan Pentingnya Nilai
Karakter Dalam Perangkat Pembelajaran
Pengintegrasian
pendidikan karakter ke dalam semua materi pembelajaran dilakukan dalam rangka
mengembangkan kegiatan intervensi. Substansi nilai sesungguhnya secara
eksplisit atau implisit sudah ada dalam rumusan kompetensi (SKL, SK, dan KD)
dalam Standar Isi (Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah), serta perangkat
kompetensi masing-masing program studi di pendidikan tinggi atau PNFI. Yang
perlu dilakukan lebih lanjut adalah memastikan bahwa pembelajaran materi
pembelajaran tersebut memiliki dampak instruksional, dan, atau dampak pengiring
pembentukan karakter.
Pengintegrasian
nilai dapat dilakukan untuk satu atau lebih dari setiap pokok bahasan dari
setiap materi pembelajaran. Seperti halnya sikap, suatu nilai tidaklah berdiri
sendiri, tetapi berbentuk kelompok. Secara internal setiap nilai mengandung
elemen pikiran, perasaan, dan perilakiu moral yang secara psikologis saling
berinteraksi.
Karakter
terbentuk dari internalisasi nilai yang bersifat konsisten, artinya terdapat
keselarasan antar elemen nilai. Sebagai contoh, karakter jujur, terbentuk dalam
satu kesatuan utuh antara tahu makna jujur (apa dan mengapa jujur), mau
bersikap jujur, dan berperilaku jujur. Karena setiap nilai berada dalam
spektrum atau kelompok nilai-nilai, maka secara psikologis dan sosiokultural
suatu nilai harus koheren dengan nilai lain dalam kelompoknya untuk membentuk
karakter yang utuh. Contoh: karakter jujur terkait pada nilai jujur, tanggung
jawab, peduli, dan nilai lainnya. Orang yang berperilaku jujur dalam membayar
pajak, artinya ia peduli pada orang lain, dalam hal ini melalui negara,
bertanggung jawab pada pihak lain, artinya ia akan membayar pajak yang besar
dan pada saatnya sesuai dengan ketentuan. Oleh karena itu, bila semua pembayar
pajak sudah berkarakter jujur, tidak perlu ada penagih pajak, dan tidak akan
ada yang mencari keuntungan untuk dirinya sendiri dari prosedur pembayaran
pajak.
Proses pengintegrasian nilai tersebut, secara
teknologi pembelajaran dapat dilakukan sebagai berikut[10][12].
a. Nilai-nilai
tersebut dicantumkan dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
b. Pengembangan
nilai-nilai tersebut dalam silabus ditempuh antara lain melalui cara-cara
sebagai berikut:
1) Mengkaji Standar
Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada pendidikan dasar dan pendidikan
memengah, atau kompetensi program studi pada pendidikan tinggi, atau standar
kompetensi pendidikan nonformal.
2) Menentukan apakah
kandungan nilai-nilai dan karakter yang secara tersirat atau tersurat dalam SK
dan KD atau kompetensi tersebut sudah tercakup di dalamnya.
3) Memetakan keterkaitan
antara SK/KD/kompetensi dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang
akan dikembangkan.
4) Menetapkan nilai-nilai
atau karakter dalam silabus yang disusun, dan mencantumkan nilai-nilai yang
sudah tercantum dalam silabus ke RPP.
5) Mengembangkan proses
pembelajaran peserta didik aktif yang memungkinkan peserta didik memiliki
kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang
sesuai.
6) Memberikan bantuan
kepada peserta didik yang mengalami kesulitan untuk internalisasi nilai mau pun
untuk menunjukkannya dalam perilaku.
C. Dasar Pembentukan Karakter
Dasar pembentukan karakter itu adalah nilai
baik atau buruk. Nilai baik disimbolkan dengan nilai Malaikat dan nilai buruk
disimbolkan dengan nilai Setan. Karakter manusia merupakan hasil
tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi positif dan nilai buruk
dalam bentuk energi negatif. Energi positif itu berupa nilai-nilai etis
religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif
itu berupa nilai-nilai yang a-moral yang bersumber dari taghut (Setan)[11][13].
Nilai-nilai etis moral itu berfungsi sebagai
sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang
sejati (hati nurani). Energi positif itu berupa:
Pertama,
kekuatan spiritual. Kekuatan spiritrual itu berupa îmân, islâm, ihsân
dan taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada
manusia untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm);
Kedua, kekuatan potensi manusia positif, berupa âqlus
salîm (akal yang sehat), qalbun salîm (hati yang sehat), qalbun
munîb (hati yang kembali, bersih, suci dari dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa
yang tenang), yang kesemuanya itu merupakan modal insani atau sumber daya
manusia yang memiliki kekuatan luar biasa.
Ketiga,
sikap dan perilaku etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi
dari kekuatan spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian
melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan
perilaku etis itu meliputi: istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd
dan amal saleh.
Energi positif tersebut dalam
perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orang yang
bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-mutmainnah) dan beramal saleh.
Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan
akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality (integritas,
komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang
bagus pula (professional).
Kebalikan dari energi positif di atas
adalah energi negatif. Energi negatif itu disimbolkan dengan kekuatan
materialistik dan nilai-nilai thâghût (nilai-nilai destruktif). Kalau
nilai-nilai etis berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan
nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani), nilai-nilai material (thâghût
) justru berfungsi sebaliknya yaitu pembusukan, dan penggelapan nilai-nilai
kemanusiaan. Hampir sama dengan energi positif, energi negatif terdiri dari:
Pertama, kekuatan thaghut. Kekuatan thâghût itu
berupa kufr (kekafiran), munafiq (kemunafikan), fasiq
(kefasikan) dan syirik (kesyirikan) yang kesemuanya itu merupakan
kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk etis dan kemanusiaannya yang
hakiki (ahsani taqwîm) menjadi makhluk yang serba material (asfala
sâfilîn);
Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu
pikiran jahiliyah (pikiran sesat), qalbun marîdl (hati yang
sakit, tidak merasa), qalbun mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani)
dan nafsu ‘l-lawwamah (jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu akan
menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah selain Allah berupa
harta, sex dan kekuasaan (thâghût).
Ketiga,
sikap dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan
implementasi dari kekuatan thâghût dan kekuatan kemanusiaan negatif yang
kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak
etis (budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur
(congkak), hubb al-dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan amal
sayyiât (destruktif).
Energi negatif tersebut dalam
perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter buruk, yaitu orang
yang puncak keburukannya meliputi syirk, nafs lawwamah dan ’amal
al sayyiât (destruktif).
Aktualisasi orang yang bermental thâghût
ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan perilaku tercela, yaitu orang yang
memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat dan pengecut) dan
orang yang tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.
D. Unsur-Unsur Karakter
Ada beberapa dimensi manusia yang secara psikologis dan sosiologis perlu
dibahas dalam kaitannya dengan terbentuknya karakter pada diri manusia. adapun
unsur-unsur tersebut adalah sikap, emosi, kemauan, kepercayaan dan kebiasaan[12][14].
Sikap seseorang akan dilihat orang lain dan sikap itu akan membuat orang
lain menilai bagaimanakah karakter orang tersebut, demikian juga halnya emosi,
kemauan, kepercayaan dan kebiasaan, dan juga konsep diri (Self Conception).
1) Sikap
Sikap seseorang biasanya adalah merupakan bagian karakternya, bahkan
dianggap sebagai cerminan karakter seseorang tersebut. Tentu saja tidak
sepenuhnya benar, tetapi dalam hal tertentu sikap seseorang terhadap sesuatu yang ada
dihadapannya menunjukkan bagaimana karakternya.
2) Emosi
Emosi adalah gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia,
yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan juga merupakan
proses fisiologis.
3) Kepercayaan
Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor
sosiopsikologis. Kepercayaan bahwa sesuatu itu “benar” atau “salah” atas dasar
bukti, sugesti otoritas, pengalaman, dan intuisi sangatlah penting untuk
membangun watak dan karakter manusia. jadi, kepercayaan itu memperkukuh
eksistensi diri dan memperkukuh hubungan denga orang lain.
4) Kebiasaan dan Kemauan
Kebiasaan adalah komponen konatif dari faktor sosiopsikologis.
Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara
otomatis, dan tidak direncanakan. Sementara itu, kemauan merupakan kondisi yang
sangat mencerminkan karakter seseorang.
Ada orang yang kemauannya keras, yang kadang ingin
mengalahkan kebiasaan, tetapi juga ada orang yang kemauannya lemah. Kemauan erat berkaitan dengan tindakan, bahakan ada yag
mendefinisikan kemauan sebagai tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk
mencapai tujuan.
5) konsep diri (Self Conception)
Hal penting lainnya yang berkaitan dengan (pembangunan) karakter
adalah konsep diri. Proses konsepsi diri merupakan proses totalitas, baik sadar
maupun tidak sadar, tentang bagaimana karakter dan diri kita dibentuk. Dalam
proses konsepsi diri, biasanya kita mengenal diri kita dengan mengenal orang
lain terlebih dahulu. Citra diri dari orang lain terhadap kita juga akan
memotivasi kita untuk bangkit membangun karakter yang lebih bagus sesuai dengan
citra. Karena pada dasarnya citra positif terhadap diri kita, baik dari kita
maupun dari orang lain itu sangatlah berguna.
E. Arah dan Metode Pendidikan Karakter dalam
Perspektif Pendidikan Agama Islam
Pendidikan karakter seharusnya berangkat
dari konsep dasar manusia: fitrah. Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya,
yaitu memiliki akal, nafsu
(jasad), hati dan ruh. Konsep inilah
yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep multiple intelligence.
Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai
pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah, ta’lîm’,
tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb[13][15]. Tilâwah
menyangkut kemampuan membaca; ta’lim terkait dengan pengembangan
kecerdasan intelektual (intellectual quotient); tarbiyah
menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang didalamnya ada
asah, asih dan asuh; ta’dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan
emosional (emotional quotient); tazkiyah terkait dengan
pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); dan tadlrib
terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau
adversity quotient)[14][16].
Gambaran di atas menunjukkan metode pembelajaran yang
menyeluruh dan terintegrasi. Pendidik yang hakiki adalah Allah, guru adalah
penyalur hikmah dan berkah dari Allah kepada anak didik. Tujuannya adalah agar
anak didik mengenal dan bertaqwa kepada Allah, dan mengenal fitrahnya sendiri.
Pendidikan adalah bantuan untuk menyadarkan, membangkitkan, menumbuhkan,
memampukan dan memberdayakan anak didik akan potensi fitrahnya.
Untuk mengembangkan kemampuan
membaca, dikembangkan metode tilawah tujuannya agar anak memiliki kefasihan
berbicara dan kepekaan dalam melihat fenomena. Untuk mengembangkan potensi
fitrah berupa akal dikembangkan metode ta’lîm, yaitu sebuah metode
pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menekankan pada pengembangan
aspek kognitif melalui pengajaran. Dalam pendidikan akal ini sasarannya adalah
terbentuknya anak didik yang memiliki pemikiran jauh ke depan, kreatif dan inovatif.
Sedangkan output-nya adalah anak yang memiliki sikap ilmiah, ulûl
albâb dan mujtahid. Ulul Albab adalah orang yang mampu
mendayagunakan potensi pikir (kecerdasan intelektual/IQ) dan potensi dzikirnya
untuk memahami fenomena ciptaan Tuhan dan dapat mendayagunakannya untuk
kepentingan kemanusiaan. Sedangkan mujtahid adalah orang mampu
memecahkan persoalan dengan kemampuan intelektualnya. Hasilnya yaitu ijtihad
(tindakannya) dapat berupa ilmu pengetahuan maupun teknologi. Outcome
dari pendidikan akal (IQ) terbentuknya anak yang saleh (waladun shalih).
Pendayagunaan potensi pikir dan zikir
yang didasari rasa iman pada gilirannya akan melahirkan kecerdasan spiritual (spiritual
quotient/SQ). Dan kemampuan mengaktualisasikan kecerdasan spiritual inilah
yang memberikan kekuatan kepada guru dan siswa untuk meraih prestasi yang
tinggi.
Metode tarbiyah digunakan
untuk membangkitkan rasa kasih sayang, kepedulian dan empati dalam hubungan
interpersonal antara guru dengan murid, sesama guru dan sesama siswa.
Implementasi metode tarbiyah
dalam pembelajaran mengharuskan seorang guru bukan hanya sebagai pengajar atau
guru mata pelajaran,
melainkan seorang bapak atau ibu yang
memiliki kepedulian dan hubungan interpersonal yang baik dengan siswa-siswinya.
Kepedulian guru untuk menemukan dan memecahkan persoalan yang dihadapi siswanya
adalah bagian dari penerapan metode tarbiyah.
Metode ta’dîb digunakan untuk
membangkitkan “raksasa tidur”, kalbu (EQ) dalam diri anak didik. Ta’dîb
lebih berfungsi pada pendidikan nilai dan pengembangan iman dan taqwa. Dalam
pendidikan kalbu ini, sasarannya adalah terbentuknya anak didik yang memiliki
komitmen moral dan etika. Sedangkan out put-nya adalah anak yang
memiliki karakter, integritas dan menjadi mujaddid. Mujaddid
adalah orang yang memiliki komitmen moral dan etis dan rasa terpanggil untuk
memperbaiki kondisi masyarakatnya. Dalam hal mujaddid ini Abdul Jalil
(2004) mengatakan: “Banyak orang pintar tetapi tidak menjadi pembaharu
(mujaddid). Seorang pembaharu itu berat resikonya. Menjadi pembaharu itu karena
panggilan hatinya, bukan karena kedudukan atau jabatannya”.
Metode tazkiyah digunakan
untuk membersihkan jiwa (SQ). Tazkiyah lebih berfungsi untuk mensucikan
jiwa dan mengembangkan spiritualitas. Dalam pendidikan Jiwa sasarannya adalah
terbentuknya jiwa yang suci, jernih (bening) dan damai (bahagia).
Sedang output-nya adalah terbentuknya jiwa yang tenang (nafs
al-mutmainnah), ulûl arhâm dan tazkiyah. Ulûl arhâm
adalah orang yang memiliki kemampuan jiwa untuk mengasihi dan menyayangi sesama
sebagai manifestasi perasaan yang mendalam akan kasih sayang Tuhan terhadap
semua hamba-Nya. Tazkiyah adalah tindakan yang senantiasa mensucikan
jiwanya dari debu-debu maksiat dosa dan tindakan sia-sia (kedlaliman).
Metode tadlrîb (latihan) digunakan
untuk mengembangkan keterampilan fisik, psikomotorik dan kesehatan fisik.
Sasaran (goal) dari tadlrîb adalah terbentuknya fisik yang kuat,
cekatan dan terampil. Output-nya adalah terbentuknya anaknya yang mampu
bekerja keras, pejuang yang ulet, tangguh dan seorang mujahid. Mujahid
adalah orang yang mampu memobilisasi sumber dayanya untuk mencapai tujuan
tertentu dengan kekuatan, kecepatan dan hasil maksimal.
Sebenarnya metode
pembelajaran yang digunakan di sekolah lebih banyak dan lebih bervariasi yang
tidak mungkin semua dikemukakan di sini secara detail.
Akan tetapi pesan
yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa pemakaian metode pembelajaran
tersebut adalah suatu bentuk “mission screed” yaitu sebagai penyalur
hikmah, penebar rahmat Tuhan kepada anak didik agar menjadi anak yang saleh.
Semua pendekatan dan metode pendidikan dan pengajaran (pembelajaran) haruslah
mengacu pada tujuan akhir pendidikan yaitu terbentuknya anak yang berkarakter
taqwa dan berakhlak budi pekerti yang luhur. Metode
pembelajaran dikatakan mengemban misi suci karena metode sama pentingnya dengan
substansi dan tujuan pembelajaran itu sendiri [15][17].
F. Tujuan Pendidikan
Karakter dalam Perspektif
Pendidikan Agama Islam di Indonesia
Tujuan
yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good
and smart. Dalam sejarah Islam, Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa
misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan
karakter yang baik (good character).[16][18]
Tokoh pendidikan barat yang mendunia seperti Socrates, Klipatrick, Lickona,
Brooks dan Goble seakan menggemakan kembali gaung yang disuarakan nabi Muhammad
SAW, bahwa moral, akhlak atau karakter adaah tujuan yang tak terhindarkan dari
dunia pendidikan.
Begitu
juga dengan Marthin Luther King menyetujui pemikiran nabi Muhammad tesebut
dengan menyatakan “Intelligence plus character, that is the true aim of
education”[17][19]. Kecerdasan plus
karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan. Selain itu, pendidikan
karakter mempunyai tujuan sebagai berikut:
1.
Mengembangkan potensi dasar peserta didik agar ia
tumbuh menjadi sosok yang berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik.
2.
Memperkuat dan membangun perilaku masyarakat yang
multikultur.
3.
Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam
pergaulan dunia.
Terlepas
dari pandangan di atas, maka tujuan sebenarnya dari pendidikan karakter atau
akhlak adalah agar manusia menjadi baik dan terbiasa kepada yang baik tersebut.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan dan latihan yang dapat
melahirkan tingkah laku sebagai sesuatu tabiat ialah agar perbuatan yang timbul
dari akhlak baik tadi dirasakan sebagai suatu kenikmatan bagi yang
melakukannya. Menurut Said Agil tujuan pendidikan adalah “membentuk manusia
yang beriman, berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga memiliki ketahanan
rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan
masyarakat.”
Dengan
kata lain,
dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan agama Islam di Indonesia
itu adalah: pertama, supaya seseorang terbiasa melakukan perbuatan baik. Kedua,
supaya interaksi manusia dengan Allah SWT dan sesama makhluk lainnya senantiasa
terpelihara dengan baik dan harmonis. Esensinya sudah tentu untuk memperoleh
yang baik, seseorang harus membandingkannya dengan yang buruk atau membedakan
keduanya. Kemudian setelah itu, dapat mengambil kesimpulan dan memilih yang
baik tersebut dengan meninggalkan yang buruk. Dengan karakter yang baik maka kita akan disegani orang. Sebaliknya,
seseorang dianggap tidak ada, meskipun masih hidup, kalau akhlak atau
karakternya rusak.[18][20]
[1][2] Fatchul Mu’in. Pedidikan karakter kontruksi teoritik
dan praktek. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 323
Pedidikan
karakter dalam perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 11 Mu’in. Pedidikan karakter
kontruksi teoritik dan praktek. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 323
[3][3] Mochtar Buchori, Character Building
[5][6] Abuddin Nata. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Prenada Media, 2007), hlm. 219
[6][8] Abdul majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam
perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 61
[7][9] Ahmad Zayadi, Abdul Majid. Tadzkirah Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam Berdasarkan Pendekatan Kontekstual. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm. 178
[8][10] Ibrahim Bafadal dalam http://wordpress.com/2010/12/20/pendidikan-karakter-dalam-uu-no-20-tahun-2003/ yang
diakses pada tanggal 01 April 2012
[9][11] Ulfiarahmi dalam http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/file/Policy%20Brief%20Edisi%204. Yang diakses pada tanggal 01
April 2012
[10][12] Ulfiarahmi dalam http://wordpress.com/2010/12/20/pendidikan-karakter-dalam-uu-no-20-tahun-2003/ yang diakses pada tanggal
01 april 2012
[11][13]Tobroni, Dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-islam-pendahulan/
diakses pada 06 Maret 2012
[12][14] Fatchul Mu’in. Pedidikan karakter kontruksi teoritik
dan praktek. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 168
[14][16] Tobroni, Dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-islam-pendahulan/ diakses pada 06 Maret 2012
[15][17] Rekonstruksi Pendidikan Agama untuk
Membangun Etika Sosial dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Malang: UMM
Press, 2010 diakses
pada 06 maret 2012
[16][18] Abdul majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam
perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 29
[17][19] Abdul majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam
perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 29